Tuesday, May 27, 2014

Jathilan


Jathilan Dikenal juga sebagai Jaran Kepang, Jaran Dor atau Kuda Lumping di daerah lain, Jathilan adalah sebuah seni pertunjukan yang berkembang luas di berbagai penjuru Yogyakarta. Dengan anyaman bambu yang dibuat menyerupai kuda, Jathilan dipertunjukkan umumnya pada siang dan sore hari oleh sekelompok seniman yang terdiri dari penari dan penggamel (pemain gamelan).

Dahulu, Jathilan merupakan sebuah tarian ritual untuk memeanggil roh kuda dan meminta keamanan desa serta keberhasilan panen. Menurut perannya dalam masyarakat Jawa, kuda melambangkan kekuatan, kepatuhan, dan sikap pelayanan dari kelas pekerja. Hal inilah yang menginspirasi seluruh pertunjukan Jathilan yang menempatkan penari dengan kuda-kudaan sebagai pusat perhatian.

Penari Jathilan

Pada awal perkembangannya, satu kelompok penari Jathilan terdiri dari dua peran, yaitu penari kuda dan pria dengan cemeti. Meski begitu, seni Jathilan yang dimainkan dalam berbagai pertunjukan resmi saat ini sudah mengadopsi beberapa perubahan mendasar pada kostum, jumlah penari, maupun detil gerakannya.



Jalan cerita utama dalam seni Jathilan merefleksikan berbagai problematika yang timbul dalam hubungan antara masyarakat kelas atas dan kaum pekerja. Kelas pekerja yang diwakili para penari kuda digambarkan tanpa aturan, tak henti-henti bergerak; pacak golu (Menggerakkan kepala ke kiri dan kanan), siring (bergeser kesamping dengan setengah berlari), njondil (melompat), berguling, bahkan sampai kerasukan.

Di sekitarnya, pria dengan cemeti selalu mengawasi segala tindakan para kuda. Mereka digambarkan sebagai tokoh yang lebih sedikit jumlahnya, tidak urakan, dan memiliki otoritas. Kesan arogan dan datar tanpa basa basi dimunculkan oleh dominasi warna merah menyala dan hitam pada riasan wajah dan pakaiannya. Tokoh ini bergerak memutar mengelilingi penari kuda di tengah arena yang “keasyikan” mengikuti musik. Sesekali melecutkan cemeti untuk memperingatkan penari kuda jika mereka bertindak “kebablasan”.

Sebagai cerminan bahwa kesenian ini berasal dan berkembang di kalangan bawah, kesan minimal juga terpancar dari kelompok musik pengiringnya. Jika diperhatikan, bunyi-bunyian yang dihasilkan terasa datar dan monoton. 

No comments:

Post a Comment